Kembali

Dampak Penjaminan Simpanan

Sumber: Krisna Wijaya

            Sesuai dengan mandat UU No,24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), maka terhitung mulai tanggal 22 Maret 2007 nanti jumlah maksimum simpanan yang dijamin hanya Rp 100 juta per nasabah/bank. Penerapan kebijakan tersebut didasari pertimbangan bahwa tujuan dari pendirian sebuah lembaga penjamin (deposit insurance corporation) adalah untuk melindungi sebagian besar penyimpan.

Pengertian sebagian besar penyimpan yang dianut berdasarkan UU LPS adalah atas dasar kepemilikan simpanan masyarakat yang terbesar porsinya. Kepemilikan tersebut diatas adalah berdasarkan jumlah rekening yang ada dalam sistim perbankan.

 Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh LPS jumlah penyimpan yang memiliki simpanan sampai dengan Rp 100 juta adalah 98,26% untuk bank umum dan 99,01% untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penjaminan yang dilakukan oleh LPS telah memenuhi asas keberpihakan kepada penyimpan terbesar.

Tentu dengan diberlakukannya penjaminan simpanan yang terbatas menjadi maksimum Rp 100 juta memberikan dampak apakah bagi masyarakat penyimpan maupun kalangan perbankan. Beberapa dampak yang mungkin terjadi antara lain adalah sebagai berikut;

Pertama, adanya mutasi rekening sebagai bagian dari konsolidasi  bagi penyimpan yang mempunyai beberapa rekening simpanan disuatu bank. Karena batasan penjaminan adalah per nasabah/bank, maka bagi mereka yang memiliki lebih dari satu rekening di bank yang sama akan mengkosolidasikan simpanannya.

Jalan keluarnya adalah memindahkan sebagian simpanannya apabila secara konsolidasi jumlahnya lebih dari Rp100 juta. Proses pemindahan tersebut dapat dilakukan dengan memindahkan ke bank lain atau mengganti atas nama simpanannya sehingga tetap terpenuhi persyaratan per nasabah/bank.

Apabila yang akan ditempuh adalah melakukan pemindahan simpanan, maka akan ada lalu lintas pemindahan simpanan antar bank. Hal ini tentunya akan menyebabkan adanya pertambahan jumlah rekening pada bank yang akan berdampak kepada kapasitas sistem tehnologi yang dimiliki masing-masing bank.

Kedua, dengan pembatasan penjaminan, maka perlindungan terhadap penyimpan dilakukan oleh LPS sampai dengan Rp 100 juta dan sisanya oleh bank yang bersangkutan. Perbedaannya tentu hanya dalam hal likuditas penjaminan saja. Bagi simpanan yang dijamin LPS sangat likuid, karena 10 hari sejak verifikasi terhadap bank dilikudasi , LPS sudah harus membayarkan klaim simpanan para nasabah.

Sesuai dengan UU, maka bagi penyimpan diatas Rp 100 juta harus menunggu proses lebih lanjut, yaitu berupa penjualan aset bank yang dilikuidasi. Penjaminan ini tentunya tidak likuid karena proses penjualan aset memerlukan waktu. Belum lagi adanya prioritas pembagian dari hasil penjualan aset dimana bagi nasabah penyimpan menduduki prioritas yang ke enam dari tujuah prioritas pendistribusian hasil penjualan aset.

Ketiga, adanya peralihan "moral hazard " (baca; tindakan sengaja untuk merugikan pihak nasabah) yang semula cenderung ada pada bank-bank yang didominasi penyimpan diatas Rp 100 juta, ke bank-bank yang memilikiki simpanan Rp 100 juta yang dominan.

Moral hazard tersebut dimungkinan, mengingat bagi bank-bank yang simpanannya di dominasi simpanan  sampai dengan Rp 100 juta, sama artinya bahwa penjaminannya adalah blanket guarantee. Sebagaimana lajimnya sebuah skim blanket guarantee (baca:semua simpanan dijamin), maka peluang terjadinya moral hazard menjadi lebih besar. Logikanya kalau seluruh penyimpannya dijamin untuk apa banknya dikelola dengan baik, toh kalau terjadi sesuatu akan ada yang menjamin.

Apabila hal tersebut berpeluang terjadi, maka diperlukan suatu bentuk pembinaan dan pengawasan yang lebih intensif bagi bank-bank yang atas dasar komposisi simpanannya justru didominasi oleh simpanan sampai dengan Rp 100 juta. Ini memerlukan berbagai langkah persiapan yang lebih memadai mengingat jumlah bank dan BPR dengan katagori tersebut diatas masih relatif besar.

Beberapa dampak tersebut diatas tentunya masih bersifat hipotetis. Adapun dampak yang pasti akan terjadi dengan skim penjaminan maksimum Rp 100 juta adalah semakin dituntutnya nasabah semakin hati-hati disatu pihak dan  bank agar selalu sehat dilain pihak.

Adanya nasabah yang semakin hati-hati dan selektif serta bank yang semakin sehat adalah tujuan utama bagi regulator dan pemerintah dalam mengelola tatanan perbankan nasional. Hanya dengan pendekatan itulah  bank akan semakin dipercaya oleh masyarakat. Oleh sebab itu kalangan perbankan harus bisa meyakinkan para nasabahnya agar tetap loyal sekalipun skim penjaminannya terbatas.