Kembali

Penjaminan 100 Juta

Sumber: Krisna Wijaya ()

Pada tanggal 22 Maret 2007, skim penjaminan untuk simpanan akan menjadi maksimum sampai dengan Rp 100 juta per nasabah/bank. Pelaksanaan skim penjaminan tersebut merupakan amanat UU No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam UU diamanatkan bahwa untuk memberikan masa transasi kepada masyarakat pemberlakuan besarnya penjaminan dilaksanakan secara bertahap.


Tahap pertama, yaitu sejak beroperasinya LPS (22 sept 2005) sampai dengan 21 Maret 2006 masih blanket guarantee- atau seluruh Simpanan dijamin. Selanjutnya mulai 22 Maret 2006-21 September 2006 jumlah penjaminan maksimum Rp 5 milyar. Mulai dari tanggal 22 September sampai 21 Maret 2007 menjadi Rp 1 milyar dan terhitung mulai 22 Maret 2007 menjadi Rp 100 juta pernasabah/bank.

  Tentunya menjadi pertanyaan mengapa skim penjaminan oleh LPS hanya sampai dengan Rp 100 juta saja. Hal ini tentunya erat kaitannya dengan alasan mengapa diiperlukan suatu lembaga penjamin simpanan.

Secara filosofis dan telah menjadi acuan diseluruh 80 negara yang telah  mempunyai deposit insurance (lembaga penjamin), maka tujuan utama pendirian lembaga penjamin adalah untuk menjamin sebagian besar nasabah penyimpan . Dalam konteks ini yang diberlakukan di Indonesia adalah dengan memperhatikan komposisi penyimpan di perbankan sebagaimana terlihat dalam Tabel 1 dan 2.

Dari Tabel tersebut nampak bahwa penyimpan yang mempunyai saldo simpanan sampai dengan Rp 100 juta mencapai 98,26% untuk bank umum dan 99,25% untuk BPR. Meskipun penjaminan yang diberlakukan hanya sd Rp 100 juta, tetapi pengertiannya bukan berarti para peyimpan diatas Rp 100 juta sama sekali tidak ada yang menjamin.

Dalam UU LPS pasal 53 dan 54 dijelaskan bahwa hasil pencairan aset dari bank yang dilikuidasi berdasarkan prioritasnya ada yang harus dibayarkan kepada penyimpan yang simpanan tidak dijamin. Ini berarti termasuk bagi penyimpan yang mempunyai simpanan diatas Rp 100 juta.
Katakanlah penyimpan mempunyai simpanan Rp 200 juta di bank A. Pada saat Bank A gagal dan harus dilikuidasi, maka klaim yang akan dibayarkan oleh LPS adalah Rp 100 juta. Selebihnya karena termasuk simpanan yang tidak dijamin LPS, maka pembayarannya menunggu perolehan hasil penjualan aset.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka  secara tidak langsung dapat diartikan bahwa semua penyimpan tetap dijamin. Dalam prakteknya penjaminan menjadi tanggung jawab LPS sebesar Rp 100 juta dan selebihnya oleh bank yang bersangkutan. Dalam apa jaminan yang diberikan oleh bank, tidak lain adalah berupa kepercayaan.
Harus diakui untuk dapat mengetahui apakah suatu bank itu layak dipercaya atau tidak bukan persoalan yang mudah. Namun demikian untuk memberikan acuan agar nasabah tidak menjadi obyek yang dirugikan dapat dilihat dari syarat-syarat pembayaran klaim sebagaimana diatur dalam UU LPS.
Dalam UU LPS memang tidak mengacu kepada persyaratan layak bayar suatu klaim. Acuannya sebagaimana diatur dalam Pasal 19 adalah hal-hal yang berkaitan dengan klaim yang tidak layak bayar yaitu sebagai berikut:
Pertama, dana simpanan nasabah tidak tercatat pada bank. Dalam prakteknya apabila suatu bank gagal dilikuidasi LPS, maka dilakukan verifikasi atas seluruh dokumentasi yang berkaitan  dengan simpanannya. Oleh sebab itu kepdeluian nasabah untuk memperhatikan dan menyimpan bukti-bukti transaksi mutlak diperlukan.
Kedua, nasibah penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar. Pengertiannya apabila nasabah mendapatkan sukubunga jauh diatas bunga yang wajar. Untuk itu LPS memberikan pedoman berupa sukubunga penjaminan sebagai batasan kewajaran peroleh sukubunga.
Ketiga, nasabah penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat. Salah contoh yang termasuk katagori ini adalah apabila nasabah penyimpan mempunyai kredit yang kreditnya menjadi macet.
            Dengan memperhatikan uraian tersebut diatas,maka ada dua hal yang perlu dipahami dengan benar yaitu pertama bahwa setelah tanggal 22 Maret 2007 simpanan yang diatas Rp 100 juta menjadi tidak terjamin tidak seluruhnya benar. Kedua, nasabah dituntut hati-hati dan selektif dalam menyimpan karena adanya persyaratan untuk mendapatkan klaim.
            Apabila kita kaji secara seksama, maka penerapan penjaminan sampai dengan Rp 100 juta tidak saja berimplikasi kepada nasabahnya saja tetapi juga kepada pihak banknya. Pihak nasabah harus secara sadar bahwa bank yang mereka pilih adalah benar-benar layak untuk dipercaya. Dilain pihak, bank yang bersangkutan juga harus dapat membuktikan bahwa banknya memang layak dipercaya.
            Sekiranya nasabah dan bank bersikap seperti itu, maka bank yang benar-benar akan tetap bertahan adalah bank yang kuat sekaligus sehat. Karena kuat dan sehat, maka nasabahnya menjadi semakin aman. Kondisi tersebut tentunya harapan yang memang harus diwujudkan agar pengalaman pahit dimasa lalu tidak terulang lagi.


 

 

Krisna Wijaya adalah pengamat ekonomi. Saat ini bekerja sebagai Kepala Eksekutif LPS. Tulisan ini merupakan opini pribadi.

 

 

 

Tabel 1. Distribusi Simpanan Menurut Besarannya (Desember 2006)

 

BANK UMUM


No

Rupiah

Jml

Rekening

Andil

Nominal

(Rp Juta)

Andil

1

Sd Rp 100 Juta

80.012.412

98,26%

268.552.761

20,69%

2

100 Jt sd 1 M

1.278.602

1,57%

355.435.029

27,39%

3

1 M sd 5 M

116.710

0,14%

225.398.971

17,37%

4

> 5 M

23.222

0,03%

448.473.306

34,55%

 

TOTAL

 

100%

1.297.860.067

100%

Sumber:  LPS